Jangan Hanya Memahami Al Qur’an dari Terjemahan

Harian Republika, Senin, 31 Juli 2006

 

Kalau pemahaman hanya berdasarkan terjemahan, jangan mudah menyalahkan orang lain.

 

KENDARI -- Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an (PTIQ), Nasaruddin Umar, menilai saat ini banyak masyarakat yang merasa tahu Al Qur’an dengan hanya berlandaskan pada terjemahan Al Qur’an dalam Bahasa Indonesia. Padahal, kata dia, pemahaman seperti itu berpotensi menimbulkan kesalahan penafsiran.

 

Contoh kesalahan penafsiran itu, kata Nasaruddin Umar, adalah adanya pihak-pihak yang selalu mempertentangkan nilai-nilai Al Qur’an dengan nilai lokal. Contoh lainnya, adalah adanya pihak yang selalu mempertentangkan nilai-nilai Al Qur’an dengan nilai-nilai sains. Padahal, kata dia, nilai-nilai itu tak selalu bertentangan.

 

Nasaruddin mengatakan, nilai-nilai lokal pada faktanya memang bisa bertentangan dengan nilai-nilai Al Qur’an secara substansial. Namun, Nasaruddin Umar yang juga dirjen Bimas Islam Departemen Agama, itu, menilai pertentangan itu juga bisa muncul karena pemahaman yang keliru dan sempit terhadap Al Qur’an.

 

Adapun pertentangan sains dengan Al Qur’an, kata Nasaruddin Umar, bisa disebabkan temuan sains belum final, tapi bisa pula disebabkan pemahaman terhadap Al Qur’an yang keliru.

 

''Jadi bukan Al Qur’an yang salah. Yang salah itu penafsiran kita terhadap Al Qur’an,'' kata Nasaruddin Umar dalam seminar nasional bertajuk ''Membangun Karakter Bangsa Berlandaskan Nilai-Nilai Qurani'' di Kendari, Sulawesi Tenggara, Ahad (30/7).

 

Kosakata

Salah penafsiran dan kekeliruan pemahaman akibat hanya bersandar pada Al Qur’an terjemahan itu, kata Nasaruddin Umar, bisa terjadi akibat kelemahan kosakata Bahasa Indonesia. Satu kata dalam Al Qur’an, kata dia, bisa memiliki banyak arti yang tidak semuanya bisa diartikan ke dalam Bahasa Indonesia. ''Kalau pengetahuan kita hanya berdasar terjemahan, janganlah kita bersikap angkuh dan mudah menyalahkan pendapat orang lain. Apalagi jika yang disalahkan adalah ulama yang menguasai Bahasa Arab,'' Nasaruddin Umar mengingatkan.

 

Meski demikian, Nasaruddin Umar juga meminta para ulama tidak memonopoli penafsiran Al Qur’an. ''Jangan karena merasa diri menguasai Bahasa Arab lalu kita memonopoli Al Qur’an,'' pesannya. Menurut Nasaruddin Umar, yang paling pertama harus dilakukan untuk membangun karakter bangsa yang berlandaskan nilai Qurani adalah dengan memahami ulang Al Qur’an.

 

Pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Salahuddin Wahid, mengatakan jika bangsa ini ingin membangun karakter berdasarkan nilai Qurani, yang pertama harus dilakukan adalah memperbaiki diri sendiri. Menyitir ucapan Leo Tolstoy, dia mengatakan,''Semua orang selalu berpikir untuk mengubah dunia, namun tidak ada yang pernah berpikir untuk mengubah dirinya sendiri.''

 

Perubahan dari diri sendiri itu, kata Salahuddin wahid, harus pula dilakukan oleh pemimpin bangsa. ''Bangsa ini butuh keteladanan dari pemimpinnya. Jika karakter pemimpinnya saja sudah kacau, bagaimana karakter bangsanya,'' katanya.

 

Salahuddin Wahid mengatakan keteladanan pemimpin akan berpengaruh pada kondisi bangsa dan masyarakat secara keseluruhan untuk membangun karakter masyarakat yang lebih baik.

 

Al Qur’an Berwarna Diluncurkan

 

KENDARI -- Kitab Suci Al Qur’an mendapatkan sentuhan baru. Pada lembaran-lembarannya akan ada alat peraga kode warna sesuai tajwid atau tanda baca Al Qur’an. Al Qur’an berwarna itu diluncurkan di sela-sela penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional ke-21 di Kendari, Sulawesi Tenggara.

 

Peluncuran Al Qur’an berwarna ini dilakukan oleh Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an (PTIQ), Nasaruddin Umar, pada seminar nasional bertajuk ''Membangun Karakter Bangsa Berlandasarkan Nilai-nilai Qurani'' --yang merupakan rangkaian kegiatan MTQ-- di Kendari, Ahad (30/7).

 

Nasaruddin Umar yang juga direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, itu, mengatakan pewarnaan itu akan menolong masyarakat yang awam terhadap ilmu tajwid. Sebab pewarnaan itu mempermudah masyarakat membaca Al Qur’an dengan baik dan benar. ''Ini Al Qur’an bernuansa cerdas, karenanya patut diapresiasi,'' katanya.

 

Bukan yang pertama

Al Qur’an berwarna ini merupakan yang pertama di Indonesia. Namun, kata Nasaruddin Umar, bukan yang pertama di dunia. Beberapa negara, tuturnya, sudah menerapkan pewarnaan Al Qur’an seperti Malaysia dan Arab Saudi. Bahkan, di kedua negara itu, Al Qur’an bukan hanya diberi warna, tapi juga dilengkapi asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya Al Qur’an). Kendati Al Qur’an berwarna itu baru diluncurkan secara resmi pada Ahad, Nasaruddin Umar mengatakan Al Qur’an berwarna itu sudah tersedia di masyarakat. Dan sejak diedarkan sampai saat ini, dia mengatakan belum ada reaksi negatif dari umat.

 

Nasaruddin sendiri menyebut yang paling substansial dari Al Qur’an adalah isinya, bukan fisiknya. ''Yang penting itu substansi ayatnya, bukan fisiknya. Sebab kertas dan tintanya adalah hasil kebudayaan manusia,'' katanya. Meski begitu, dia menegaskan di balik aspek fisik hasil kebudayaan manusia ini ada unsur kesucian yang menyatu di dalamnya. ''Karenanya Al Qur’an menjadi suci, sehingga menyentuhnya pun hanya boleh dilakukan jika kita dalam keadaan suci,'' jelasnya.

 

Nasaruddin Umar mengungkapkan izin terbitnya Al Qur’an berwarna ini cukup panjang, sebelum akhirnya mendapatkan legalisasi dari Departemen Agama.

 

Back To Index